Hai semua, perkenalkan namaku Mutiara Kinanti, kalian bisa memanggil diriku dengan nama Muti. Akan ku ceritakan sebuah kisah cinta. Bukan bukan, ini bukan kisah cinta roman picisan, namun kisah ini lebih dari itu…
26 September 2005
Hari ini adalah hari pertamaku UTS (Ujian Tengah Semester)
di kelas 5 SD. Sepulang sekolah, aku menemukan Bunda sedang gelisah, Tante Imah
(tetangga sebelah) juga berada dirumah. Ada apa? Bunda merasakan perutnya mulai
berkontraksi, karena sudah tak tahan lagi, akhirnya Bunda meminta tolong dan ditemani
Om Puji (tetangga dikomplek rumah) untuk pergi ke bidan terdekat.
“Bunda udah
pembukaan tiga”, kata Bunda sepulangnya dari bidan. “Trus gimana? Emangnya pembukaan
itu apa? Emangnya ada berapa?” tanyaku polos. “Sebentar lagi kamu punya adek,” inti
dari semua penjelasan Bunda.
Duniaku mulai bergemuruh, apa? Aku akan menjadi seorang kakak setelah 9½ tahun menjadi anak semata wayang…
Akhirnya, Bunda meminta tolong Om Puji untuk memanggilkan
taksi.
“Kamu mau ikut atau dirumah? Bunda udah telepon Ayah, Bunda
mau ke Rumah Sakit. Tante imah nemenin Bunda.”
“Ikut lah mau.”
Bergegas langsung aku berganti baju, membawa buku pelajaran
ujianku untuk besok dan membantu membereskan pakaian keperluan Bunda di Rumah
Sakit. Dengan sedikit cemas aku terus memikirkan Bunda sambil berdoa. Akhirnya
kami sampai di Rumah Sakit Haji, Pondok Gede.
Di Rumah sakit, aku tidak bisa masuk ke ruang bersalin, belum
cukup umur. Aku hanya duduk-duduk dilorong Rumah Sakit. Pikiranku saat itu
terbayang seperti acara-acara drama ditelevisi, sampai di Rumah sakit Bunda dibawa
ke ruang bersalin, lalu Bunda akan langsung lahiran. Ternyata aku salah, Bunda
terus mengalami pembukaan bertahap. Tante Imah masih menemani aku dan Bunda. Karena
masih pembukaan, Bunda dianjurkan untuk berjalan-jalan dilorong untuk relaksasi
dan mempercepat pembukaan. Bunda bernapas seperti ibu-ibu yang mau lahiran,
mengambil napas dari hidung dan keluar melalui mulut. Bunda tersenyum padaku. Ah,
perasaan apa ini, begitu campur aduk. Sekitar jam 3-an, Ayah tiba di Rumah
Sakit, Ayah terburu-buru langsung izin pulang cepat dari kantor setelah Bunda
menelepon.
Aku sedikit memiliki daya ingat yang buruk. Namun seingatku,
entah jam berapa, Tante Imah dijemput oleh Om Yadi, suaminya untuk pulang
kerumah.
Ayah duduk disampingku, langsung ku peluk Ayah.
“Nanti kamu maunya
dipanggil apa sama adek?”
Pertanyaan ini kadang begitu menggelitik bagiku, sejak Bunda
hamil lagi dan sempat aku gagal dua kali mendapatkan adik (Bunda menggalami
keguguran dua kali). Kini dihadapanku, aku akan benar-benar menjadi seorang
kakak.
“Apa ya? Mba aja lah. Ayah, kok Bunda lama sih.”
“Ketubannya belum pecah, masih pembukaan terus.”
Sesekali, aku membaca buku dan jalan-jalan dilorong Rumah
Sakit. Disisi sebelah kiri, ada sebuah ruangan khusus untuk bayi-bayi yang baru
dilahirkan. Aku begitu takjub melihatnya. Ah, aku akan punya adik kecil. Laki-laki
atau perempuan? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku tak tahu, pikiranku
masih melayang, terlalu rumit untuk anak 5 SD.
Jam 8 malam, Bunda masih belum mengalami pecah ketuban. Ayah
terus menemani Bunda siap siaga untuk proses persalinan. Kakak Widi dan Mbah
Kung datang, Kakak Widi adalah tanteku (entah mengapa ia dipanggil Kakak oleh
semua keponakannya).
Sekitar pukul 9 malam, Bunda mulai merasakan kontraksi luar
biasa. Bunda mengalami pecah ketuban, pertaruhan hidup dan mati dimulai. Terus aku
berdoa kepada Allah. Hari ini aku sama sekali tidak fokus untuk belajar UTS. Pikiranku
terlalu dipenuhi dengan kecemasan dan pertanyaan yang ku simpan sendiri. Kakak Widi
yang menemaniku diluar ruangan, sedangkan ayah dan Mbah Kung didalam.
Pukul 21.39, terjawab sudah pertanyaanku. Tangis haru mulai menyelimuti.
Adikku yang dinanti, keresahan Bunda, Ayah, aku dan semua orang terjawab.
Alhamdulillah…Adikku lahir dan Bunda selamat…Hari ini, ada sebuah moment yang tak ternilai harganya. Dukungan, kebahagian dan cinta keluarga yang tak tergantikan...
Ayah dan Mbah keluar dari ruangan, ada perasaan lega dan
bahagia yang terpancar. Di pukul 11 malam, tirai ruangan bayi yang baru lahir
dibuka. Ku lihat disana, bayi laki-laki kecil mungil dengan tanda Ny.
Widiastuti terpampang. Itu adikku! Aku? Seorang kakak? Bahkan aku sendiri pun
merasa terpukau.
Waktu sudah tengah malam, aku ikut dengan Ayah ke bagian
administrasi untuk perpindahan Bunda ke ruangan pasien. Pukul 1 malam, akhirnya
Mbah pulang dan Kakak memutuskan untuk menemani Bunda. Setelah pindah ruangan,
aku lihat senyuman Bunda diwajahnya. Ku peluk Bunda yang terbaring dikasur. Lucu
juga, kemarin ku lihat perut Bunda yang buncit kini mengempis karena adikku
sudah lahir. Ku tengok langit malam perbatasan Jakarta-Bekasi lewat jendela
kamar pasien. Ah, entah mengapa langit malam ini sangat berbeda dari kemarin. Kereta
bayi khas Rumah Sakit pun datang, wah adikku! Tangan kecinya itu, kakinya,
semuanya ku perhatikan. Disusui lah adikku dengan ASI pertama. Entah mengapa malam
ini begitu teduh.
BIYAN ABIMANYU, itulah nama adikku. Dengan mantap Ayah menyebut nama adikku.
Aku pulang kerumah dengan Ayah, besok aku tetap harus
sekolah karena sedang Ujian. di Rumah Sakit, Bunda ditemani Kakak sehingga Ayah
tak perlu terlalu khawatir tentang Bunda.
Seminggu berlalu, akhirnya Bunda dipersilakan untuk pulang.
Aku langsung membereskan rumah, menyambut “tamu kecil” yang akan tinggal
dirumah.
Banyak tetangga dan orang yang menenggok untuk sekadar memberi
ucapan selamat maupun hadiah ala untuk orang yang baru lahiran.
Hei dunia, aku kini seorang kakak loh!
---
Beberapa bulan
kemudian
Jakarta diterpa banjir lima tahunan yang luar biasa, rumah
Kakak Widi terkena banjir parah hingga 2 meter. Bunda dan Ayah akan menenggok
Kakak Widi untuk melihat situasi-kondisi.
“Bunda mau kerumah Kakak ya, kamu jagain Biyan,” ujar Bunda.
Akhirnya aku pun tidur dengan Biyan dikamar Bunda. Adikku
kini sekitar berumur 5-7 bulan. Tidurku tak begitu tenang karena takut terjadi
apa-apa. Sekitar jam 10, Biyan mulai menangis. Aku bingung harus apa, akhirnya
ku berikan susu botol yang sebelumnya sudah Bunda buatkan. Tangisannya mulai
reda, kebingunganku pun mulai reda. Namun aku kembali panik setelah Biyan mengalami
‘gumoh’ dan mulai menangis lagi. Ku bersihkan ‘gumoh’annya dan aku bingung tak
tahu harus bagaimana, telebih lagi HP ataupun telepon rumah tidak ada disaat
itu.
“Biyan jangan nangis kek, ah bingung mbanya,” aku mulai ikut
menangis juga.
Aku gendong Biyan dan ia masih tetap menangis.
“Udah jangan nangis lagi…”
Karena sudah bingung tak ketulungan, akhirnya aku keluar
rumah sambil menggendong Biyan dan memberikannya susu. Tangisnya mulai reda,
namun ketika aku masuk kembali kerumah ia malah menangis lagi.
“Mau ngadem diluar kali,” pikirku pendek.
Cukup lama aku berada diluar rumah sambil menggendong Biyan.
Setelah cukup, akhirnya aku masuk dan kembali tidur.
Tengah malam, Bunda dan Ayah sudah pulang, ku ceritakan saja
kalau biyan menangis dan aku ikutan menangis.
Aku pun kembali tidur ke kamarku sendiri.
---
Ditahun 2007-2008
2007, Bunda mulai merasakan hal yang janggal pada Biyan,
Bunda merasa Biyan belum mampu berbicara dengan pasti dan interaksi kontak mata
Biyan yang kurang, meskipun Biyan terlihat seperti bayi-bayi lainnya, terlebih
lagi adikku ini begitu hiperaktif. Demi menjawab kegelisahan Bunda, Ayah
menemani Bunda keberbagai tempat untuk mendapatkan jawabnya. Adikku ternyata
memiliki semacam gangguan keterlambatan wicara dan kurangnya interaksi kontak
mata. Bunda dan Ayah terus mencari ‘apa yang salah’ dengan Biyan.
Aku tak begitu terlibat dalam hal ini. Dimasa ini pun aku sedang mengalami pubertas masa SMP, sehingga aku pun sedang asik-asiknya dengan duniaku sendiri.
2008, diujung menanti jawaban ‘apa yang salah’, Adikku di
diagnosis memiliki gejala Autisme. Aku tak ingat pasti, setelah dari itu Bunda
dan Ayah segera mencari tempat rumah terapi khusus Autisme. Waktu itu, biaya
terapi di Cibubur begitu mahal hingga beberapa juta. Akhirnya, Bunda dan Ayah
terus mencari-cari, hingga di Kranggan (Bekasi) ada tempat terapi yang biayanya
tidak terlalu mahal (dari yang sebelum-sebelumnya). Setelah melakukan
serangkaian tes, Biyan sekolah terapi di tempat tersebut.
Dari situ, kondisi ekonomi keluargaku mulai memprihatinkan. Bersyukur,
aku bukanlah tipe anak yang ‘doyan jajan’. Bunda mulai berjualan untuk bisa nambah-nambahin
biaya terapi Biyan. Di sekolah terapi, Bunda mendapatkan beberapa kenalan yang
juga sesama orangtua dari penyandang berkebutuhan khusus dan bisa dibilang
cukup ‘wah’. Bunda diajak oleh salah satu orangtua menjalani tes untuk
mengetahui diagnosis pasti dari Autisme Biyan. Meskipun sempat ragu, akhirnya
Bunda bersama temannya pergi ke (mungkin semacam) Psikiater khusus Autisme.
Psikiater itu memang cukup ahli dan sering mendapatkan pasien dalam
mendiagnosis Autisme apa yang sandang oleh seseorang.
PDD-NOS (Pervasive Devolopmental Disorder – Not Otherwise
Specified), itulah diagnosa adikku. Informasi tentang PDD-NOS diinternet
berbahasa Indonesia tidaklah sebanyak sekarang. Waktu dulu, aku disuruh mentranslatekan informasi tentang PDD-NOS
oleh Bunda yang sudah diprint oleh seorang guru di tempat terapi. Inti dari
PDD-NOS adalah seseorang yang memiliki gejala autism namun tidak juga memenuhi kriteria
yang disebut autism PDD. Jadi, adikku ini seorang penyandang autism yang tidak
telihat seperti penyandang autism. Gejala ini terdeteksi dari ciri-ciri adikku
yang antara lain sulit berinteraksi-sosial, kontak mata yang kurang,
kesulitan/mengalami keterlambatan bicara, memiliki hidup yang teratur dan
hiperaktif.
---
Tahun 2010-2015
2010. 3 tahun berlalu, adikku mulai mengalami kemajuan yang
cukup berarti. Seperti mulai berbicara dengan artikulasi yang cukup jelas. Mulai
dapat duduk dengan tenang. Tentu melewati hal ini sangatlah panjang. Tahun ini
Biyan memasuki dunia TK, aku pun juga memasuki dunia SMA. Setelah masa SMP aku
terlalu sibuk dengan ‘duniaku sendiri’ dan bermain dengan Biyan seperti
adik-kakak pada umumnya, bercanda-berantem-bercanda-berantem, kini aku sedikit ‘longgar’
dengan kepentingan duniaku sendiri.
Awal 2012, bulan Januari tepatnya merupakan puncak dimana aku ga bisa bohongin diri aku sendiri, kalau aku ibaratnya lagi kena yang namanya masa-masa-titik-terendah ngerasa ga becus jadi kakak untuk Biyan. Ini adalah puisi yang aku tulis saat Biyan masuk Rumah sakit pertama kalinya. Karena Ayah sama Bunda jagain Biyan di Rumah Sakit, aku dirumah sendirian nangis sejadi-jadinya. Entah kenapa aku ngerasa punya dosa yang besar dan gagal ngejaga adik aku. Padahal Biyan sakit ya karena memang karena sakit. Trombositnya tiba-tiba turun, padahal ga kena DB ataupun tifus. Sejak dari ini, aku punya tekad untuk menjadi seorang kakak 'seutuhnya'.
Ditahun 2013 seharusnya Biyan sudah memasuki dunia SD, namun
akupun juga masuk ke dunia perkuliahan. Karena biaya masuk SD Biyan lebih mahal
daripada biaya kuliahku, sehingga yang dikorbankan terlebih dahulu adalah
Biyan. Biyan tetap di TK, sehingga masa TK Biyan 3tahun. Bunda tidak mau waktu
Biyan sia-sia terbuang setahun hanya untuk menunggu masuk SD, dengan
kesepakatan dengan pihak TK akhirnya Biyan diizinkan menetap setahun lagi. Ditahun
ini pula Biyan berhenti dari sekolah terapi.
2014, Biyan masuk ke Sekolah Dasar Terpadu, lebih tepatnya
Sekolah Alam. Bunda memiliki ekspetasi agar Biyan lebih tersalurkan ‘kelebihan’
energinya ini dengan kegiatan yang ada di sekolah alam jika dibandingkan dengan
sekolah umumnya. Setelah melakukan tes, Biyan masuk kedalam kelas transisi pada
tahun pertama, yang artinya Biyan berpontensi untuk masuk kedalam kelas regular
pada tahun kedua (model ini bisa disebut juga sekolah inklusi). Adikku memang memiliki
kesulitan dalam berbahasa, namun ia lumayan jago saat disuruh berhitung (sampai
diluar kepala). Sepertinya adikku memiliki kemampuan matematika yang oke punya.
Hehehe. Biyan juga punya kemampuan lain yang bisa dibilang cukup menggelitik,
yakni hapal dengan merk-merk produk / lambang-lambang / sebuah barang. (misal TV,
Biyan hapal merk-merk TV seperti Toshiba, Sharp, LG, dll.)
Yaps, aku mulai sedikit dewasa, kini jika aku bermain dengan
Biyan, aku memberikan permainan yang mengedukasi ataupun permainan kata
untuknya. Aku terkadang ngobrol sama Biyan (misal) tentang ‘Biyan belajar apa
disekolah’, ‘Biyan ngapain aja disekolah’, ataupun ngomongin kartun yang lagi
ditonton. Ya, meskipun ia terkadang tak membalas apa yang aku ucapkan, tapi aku
tahu ia mendengarkan apa yang aku ucapkan. Akupun juga terbilang cukup intens
(sejak SMA) dalam hal menunjukan rasa sayang kepada Biyan, setidaknya setiap
hari harus ada kontak sentuhan antara kami. Dalam artian, kasih sayang untuk ia
akan lebih terasa jika melalui sentuhan seperti berpelukan dan cium pipi. Bahkan
sampai sekarang, 2015 aku selalu menyempatkan diri setiap hari untuk ‘sayang-sayangan’
dengan Biyan. Meskipun berantemnya masih ada hehehe:p
---
Aku hanyalah seorang
kakak dari seorang adik penyandang PDD-NOS.
Hmm.. Suara terindah
namun menggelitik yang pernah aku dengar adalah suara Biyan ketika memanggilku “Mba
Muti”. “Mba Muti” terdengar pertama kali disaat Biyan berumur 4 tahun. Sampai
saat ini pun masih akan terasa lain ketika orang lain yang bukan Biyan
memanggilku “Mba Muti”. Seperti ada kekuatan magis jika Biyan memanggilku Mba
Muti.
Adikku semakin bertambah umurnya, akupun juga begitu. Untukku, ia masih sama seperti adik kecil yang baru kemarin datang ke kehidupanku.
Adikku semakin bertambah umurnya, akupun juga begitu. Untukku, ia masih sama seperti adik kecil yang baru kemarin datang ke kehidupanku.
Mungkin aku bisa gila
jika tanpa Biyan. Pernah aku sekali membayangkan jika aku kehilangan Biyan,
baru membayangkannya saja aku sudah menangis terisak. Lebay? Mungkin iya, dan akupun mengiyakan kalau aku agak lebay, tapi
inilah perasaanku.
Aku sempat menyesal
sempat melewatkan tahun-tahun perkembangan Biyan karena akupun sedang ‘asik
sendiri’. Kini, aku tak pernah mau lewatkan setiap moment dengannya.
Hai para kakak dari seorang adik penyandang autisme, mungkin aku beruntung karena adikku tidak begitu parah autisme-nya, aku disini hanya berbagi cerita. Meski tidak keseluruhan, namun aku juga pernah merasakan masa-masa 'tak peduli' dengannya.
Sekali lagi, aku hanya tak ingin menjadi seorang kakak yang tak becus menjaga adiknya.
duniaku adalah kamu, duniamu adalah aku |
Bekasi, 02 Maret 2015.
HARI AUTISME SEDUNIA
Salam sayang,
dari seorang kakak yang menyangi adiknya...
---
Sepenggal pesan dari Ayah dan Bunda
“Dijaga adeknya mba, kalo bukan mba mau siapa lagi. Kalo Bunda sama Ayah meninggal, dijaga adeknya…”“Ih mba, nanti Biyan kalo pubertas gimana ya, trusnya kalo naksir sama cewe…”“Ih mba, nanti istrinya Biyan gimana ya…”“Mba, kalo Bunda udah ga ada, Biyannya dirawat, dijaga, disayang, jangan disia-siain…”“Kalo Ayah sama Bunda udah ga ada, dijaga Biyannya, jangan berantem yang enggak-enggak…”“Mba nanti kalo cari suami, cari yang ga cuma bisa nerima kamu, tapi yang bisa nerima Biyan juga…”
7 komentar:
Semangat muti buat jagain adenya..
http://fatinahmunir.blogspot.com/2015/04/hai-2-april-light-it-up-blue.html
btw background blognya ganggu, kurang enak aj gtu. trs ada yg typo tu.. masa
"26 September 2015" skrng aj blm bulan september 2015.
Semangat yosh!
huaaah iya typo._.
makasih ka Darma buat perbaikan+sarannya^^
dijaga ya Mbak Muti Biyannya, jangan di tinggalin lagi.
baca ini jadi pengen rasanya gimana sih di panggil "kakak/abang" sama adik :)
Pas lagi baca itu tiba2 keluar air mata. #saking terharunya. Semangat muti...
Minta adek Yuuuud hoho
Nisaaaaa:^) mangat teruuuus~~:3
semangat yah muti, walaupun gue gak tau rasanya bagaimana menjadi diri lu. gue yakin itu gak akan mudah, semangat terus muti. biyan akan menjadi manusia yg hebat dibalik kakaknya yg kuat ^-^
Posting Komentar