~ welcome to muti's area ~ aku ada, makanya aku ngeblog ~

Kamis, 02 April 2015

/



Hai semua, perkenalkan namaku Mutiara Kinanti, kalian bisa memanggil diriku dengan nama Muti. Akan ku ceritakan sebuah kisah cinta. Bukan bukan, ini bukan kisah cinta roman picisan, namun kisah ini lebih dari itu…



26 September 2005

Hari ini adalah hari pertamaku UTS (Ujian Tengah Semester) di kelas 5 SD. Sepulang sekolah, aku menemukan Bunda sedang gelisah, Tante Imah (tetangga sebelah) juga berada dirumah. Ada apa? Bunda merasakan perutnya mulai berkontraksi, karena sudah tak tahan lagi, akhirnya Bunda meminta tolong dan ditemani Om Puji (tetangga dikomplek rumah) untuk pergi ke bidan terdekat.
“Bunda udah pembukaan tiga”, kata Bunda sepulangnya dari bidan. “Trus gimana? Emangnya pembukaan itu apa? Emangnya ada berapa?” tanyaku polos. “Sebentar lagi kamu punya adek,” inti dari semua penjelasan Bunda.

Duniaku mulai bergemuruh, apa? Aku akan menjadi seorang kakak setelah 9½ tahun menjadi anak semata wayang…


Akhirnya, Bunda meminta tolong Om Puji untuk memanggilkan taksi.
“Kamu mau ikut atau dirumah? Bunda udah telepon Ayah, Bunda mau ke Rumah Sakit. Tante imah nemenin Bunda.”
“Ikut lah mau.”

Bergegas langsung aku berganti baju, membawa buku pelajaran ujianku untuk besok dan membantu membereskan pakaian keperluan Bunda di Rumah Sakit. Dengan sedikit cemas aku terus memikirkan Bunda sambil berdoa. Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit Haji, Pondok Gede.

Di Rumah sakit, aku tidak bisa masuk ke ruang bersalin, belum cukup umur. Aku hanya duduk-duduk dilorong Rumah Sakit. Pikiranku saat itu terbayang seperti acara-acara drama ditelevisi, sampai di Rumah sakit Bunda dibawa ke ruang bersalin, lalu Bunda akan langsung lahiran. Ternyata aku salah, Bunda terus mengalami pembukaan bertahap. Tante Imah masih menemani aku dan Bunda. Karena masih pembukaan, Bunda dianjurkan untuk berjalan-jalan dilorong untuk relaksasi dan mempercepat pembukaan. Bunda bernapas seperti ibu-ibu yang mau lahiran, mengambil napas dari hidung dan keluar melalui mulut. Bunda tersenyum padaku. Ah, perasaan apa ini, begitu campur aduk. Sekitar jam 3-an, Ayah tiba di Rumah Sakit, Ayah terburu-buru langsung izin pulang cepat dari kantor setelah Bunda menelepon.

Aku sedikit memiliki daya ingat yang buruk. Namun seingatku, entah jam berapa, Tante Imah dijemput oleh Om Yadi, suaminya untuk pulang kerumah.

Ayah duduk disampingku, langsung ku peluk Ayah.
 “Nanti kamu maunya dipanggil apa sama adek?”

Pertanyaan ini kadang begitu menggelitik bagiku, sejak Bunda hamil lagi dan sempat aku gagal dua kali mendapatkan adik (Bunda menggalami keguguran dua kali). Kini dihadapanku, aku akan benar-benar menjadi seorang kakak.

“Apa ya? Mba aja lah. Ayah, kok Bunda lama sih.”
“Ketubannya belum pecah, masih pembukaan terus.”

 Sesekali, aku membaca buku dan jalan-jalan dilorong Rumah Sakit. Disisi sebelah kiri, ada sebuah ruangan khusus untuk bayi-bayi yang baru dilahirkan. Aku begitu takjub melihatnya. Ah, aku akan punya adik kecil. Laki-laki atau perempuan? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku tak tahu, pikiranku masih melayang, terlalu rumit untuk anak 5 SD.

Jam 8 malam, Bunda masih belum mengalami pecah ketuban. Ayah terus menemani Bunda siap siaga untuk proses persalinan. Kakak Widi dan Mbah Kung datang, Kakak Widi adalah tanteku (entah mengapa ia dipanggil Kakak oleh semua keponakannya).

Sekitar pukul 9 malam, Bunda mulai merasakan kontraksi luar biasa. Bunda mengalami pecah ketuban, pertaruhan hidup dan mati dimulai. Terus aku berdoa kepada Allah. Hari ini aku sama sekali tidak fokus untuk belajar UTS. Pikiranku terlalu dipenuhi dengan kecemasan dan pertanyaan yang ku simpan sendiri. Kakak Widi yang menemaniku diluar ruangan, sedangkan ayah dan Mbah Kung didalam.

Pukul 21.39, terjawab sudah pertanyaanku. Tangis haru mulai menyelimuti. Adikku yang dinanti, keresahan Bunda, Ayah, aku dan semua orang terjawab.


Alhamdulillah…
Adikku lahir dan Bunda selamat…
Hari ini, ada sebuah moment yang tak ternilai harganya. Dukungan, kebahagian dan cinta keluarga yang tak tergantikan...


Ayah dan Mbah keluar dari ruangan, ada perasaan lega dan bahagia yang terpancar. Di pukul 11 malam, tirai ruangan bayi yang baru lahir dibuka. Ku lihat disana, bayi laki-laki kecil mungil dengan tanda Ny. Widiastuti terpampang. Itu adikku! Aku? Seorang kakak? Bahkan aku sendiri pun merasa terpukau.

Waktu sudah tengah malam, aku ikut dengan Ayah ke bagian administrasi untuk perpindahan Bunda ke ruangan pasien. Pukul 1 malam, akhirnya Mbah pulang dan Kakak memutuskan untuk menemani Bunda. Setelah pindah ruangan, aku lihat senyuman Bunda diwajahnya. Ku peluk Bunda yang terbaring dikasur. Lucu juga, kemarin ku lihat perut Bunda yang buncit kini mengempis karena adikku sudah lahir. Ku tengok langit malam perbatasan Jakarta-Bekasi lewat jendela kamar pasien. Ah, entah mengapa langit malam ini sangat berbeda dari kemarin. Kereta bayi khas Rumah Sakit pun datang, wah adikku! Tangan kecinya itu, kakinya, semuanya ku perhatikan. Disusui lah adikku dengan ASI pertama. Entah mengapa malam ini begitu teduh.


BIYAN ABIMANYU, itulah nama adikku. Dengan mantap Ayah menyebut nama adikku.


Aku pulang kerumah dengan Ayah, besok aku tetap harus sekolah karena sedang Ujian. di Rumah Sakit, Bunda ditemani Kakak sehingga Ayah tak perlu terlalu khawatir tentang Bunda.
Seminggu berlalu, akhirnya Bunda dipersilakan untuk pulang. Aku langsung membereskan rumah, menyambut “tamu kecil” yang akan tinggal dirumah.
Banyak tetangga dan orang yang menenggok untuk sekadar memberi ucapan selamat maupun hadiah ala untuk orang yang baru lahiran.


Hei dunia, aku kini seorang kakak loh!

---

Beberapa bulan kemudian

Jakarta diterpa banjir lima tahunan yang luar biasa, rumah Kakak Widi terkena banjir parah hingga 2 meter. Bunda dan Ayah akan menenggok Kakak Widi untuk melihat situasi-kondisi.

“Bunda mau kerumah Kakak ya, kamu jagain Biyan,” ujar Bunda.

Akhirnya aku pun tidur dengan Biyan dikamar Bunda. Adikku kini sekitar berumur 5-7 bulan. Tidurku tak begitu tenang karena takut terjadi apa-apa. Sekitar jam 10, Biyan mulai menangis. Aku bingung harus apa, akhirnya ku berikan susu botol yang sebelumnya sudah Bunda buatkan. Tangisannya mulai reda, kebingunganku pun mulai reda. Namun aku kembali panik setelah Biyan mengalami ‘gumoh’ dan mulai menangis lagi. Ku bersihkan ‘gumoh’annya dan aku bingung tak tahu harus bagaimana, telebih lagi HP ataupun telepon rumah tidak ada disaat itu.

“Biyan jangan nangis kek, ah bingung mbanya,” aku mulai ikut menangis juga.
Aku gendong Biyan dan ia masih tetap menangis.
“Udah jangan nangis lagi…”
Karena sudah bingung tak ketulungan, akhirnya aku keluar rumah sambil menggendong Biyan dan memberikannya susu. Tangisnya mulai reda, namun ketika aku masuk kembali kerumah ia malah menangis lagi.
“Mau ngadem diluar kali,” pikirku pendek.
Cukup lama aku berada diluar rumah sambil menggendong Biyan. Setelah cukup, akhirnya aku masuk dan kembali tidur.

Tengah malam, Bunda dan Ayah sudah pulang, ku ceritakan saja kalau biyan menangis dan aku ikutan menangis.
Aku pun kembali tidur ke kamarku sendiri.

---

Ditahun 2007-2008

2007, Bunda mulai merasakan hal yang janggal pada Biyan, Bunda merasa Biyan belum mampu berbicara dengan pasti dan interaksi kontak mata Biyan yang kurang, meskipun Biyan terlihat seperti bayi-bayi lainnya, terlebih lagi adikku ini begitu hiperaktif. Demi menjawab kegelisahan Bunda, Ayah menemani Bunda keberbagai tempat untuk mendapatkan jawabnya. Adikku ternyata memiliki semacam gangguan keterlambatan wicara dan kurangnya interaksi kontak mata. Bunda dan Ayah terus mencari ‘apa yang salah’ dengan Biyan.


Aku tak begitu terlibat dalam hal ini. Dimasa ini pun aku sedang mengalami pubertas masa SMP, sehingga aku pun sedang asik-asiknya dengan duniaku sendiri.


2008, diujung menanti jawaban ‘apa yang salah’, Adikku di diagnosis memiliki gejala Autisme. Aku tak ingat pasti, setelah dari itu Bunda dan Ayah segera mencari tempat rumah terapi khusus Autisme. Waktu itu, biaya terapi di Cibubur begitu mahal hingga beberapa juta. Akhirnya, Bunda dan Ayah terus mencari-cari, hingga di Kranggan (Bekasi) ada tempat terapi yang biayanya tidak terlalu mahal (dari yang sebelum-sebelumnya). Setelah melakukan serangkaian tes, Biyan sekolah terapi di tempat tersebut.

Dari situ, kondisi ekonomi keluargaku mulai memprihatinkan. Bersyukur, aku bukanlah tipe anak yang ‘doyan jajan’. Bunda mulai berjualan untuk bisa nambah-nambahin biaya terapi Biyan. Di sekolah terapi, Bunda mendapatkan beberapa kenalan yang juga sesama orangtua dari penyandang berkebutuhan khusus dan bisa dibilang cukup ‘wah’. Bunda diajak oleh salah satu orangtua menjalani tes untuk mengetahui diagnosis pasti dari Autisme Biyan. Meskipun sempat ragu, akhirnya Bunda bersama temannya pergi ke (mungkin semacam) Psikiater khusus Autisme. Psikiater itu memang cukup ahli dan sering mendapatkan pasien dalam mendiagnosis Autisme apa yang sandang oleh seseorang.

PDD-NOS (Pervasive Devolopmental Disorder – Not Otherwise Specified), itulah diagnosa adikku. Informasi tentang PDD-NOS diinternet berbahasa Indonesia tidaklah sebanyak sekarang. Waktu dulu, aku disuruh mentranslatekan informasi tentang PDD-NOS oleh Bunda yang sudah diprint oleh seorang guru di tempat terapi. Inti dari PDD-NOS adalah seseorang yang memiliki gejala autism namun tidak juga memenuhi kriteria yang disebut autism PDD. Jadi, adikku ini seorang penyandang autism yang tidak telihat seperti penyandang autism. Gejala ini terdeteksi dari ciri-ciri adikku yang antara lain sulit berinteraksi-sosial, kontak mata yang kurang, kesulitan/mengalami keterlambatan bicara, memiliki hidup yang teratur dan hiperaktif.

---

Tahun 2010-2015

2010. 3 tahun berlalu, adikku mulai mengalami kemajuan yang cukup berarti. Seperti mulai berbicara dengan artikulasi yang cukup jelas. Mulai dapat duduk dengan tenang. Tentu melewati hal ini sangatlah panjang. Tahun ini Biyan memasuki dunia TK, aku pun juga memasuki dunia SMA. Setelah masa SMP aku terlalu sibuk dengan ‘duniaku sendiri’ dan bermain dengan Biyan seperti adik-kakak pada umumnya, bercanda-berantem-bercanda-berantem, kini aku sedikit ‘longgar’ dengan kepentingan duniaku sendiri.

Awal 2012, bulan Januari tepatnya merupakan puncak dimana aku ga bisa bohongin diri aku sendiri, kalau aku ibaratnya lagi kena yang namanya masa-masa-titik-terendah ngerasa ga becus jadi kakak untuk Biyan. Ini adalah puisi yang aku tulis saat Biyan masuk Rumah sakit pertama kalinya. Karena Ayah sama Bunda jagain Biyan di Rumah Sakit, aku dirumah sendirian nangis sejadi-jadinya. Entah kenapa aku ngerasa punya dosa yang besar dan gagal ngejaga adik aku. Padahal Biyan sakit ya karena memang karena sakit. Trombositnya tiba-tiba turun, padahal ga kena DB ataupun tifus. Sejak dari ini, aku punya tekad untuk menjadi seorang kakak 'seutuhnya'.

Ditahun 2013 seharusnya Biyan sudah memasuki dunia SD, namun akupun juga masuk ke dunia perkuliahan. Karena biaya masuk SD Biyan lebih mahal daripada biaya kuliahku, sehingga yang dikorbankan terlebih dahulu adalah Biyan. Biyan tetap di TK, sehingga masa TK Biyan 3tahun. Bunda tidak mau waktu Biyan sia-sia terbuang setahun hanya untuk menunggu masuk SD, dengan kesepakatan dengan pihak TK akhirnya Biyan diizinkan menetap setahun lagi. Ditahun ini pula Biyan berhenti dari sekolah terapi.

2014, Biyan masuk ke Sekolah Dasar Terpadu, lebih tepatnya Sekolah Alam. Bunda memiliki ekspetasi agar Biyan lebih tersalurkan ‘kelebihan’ energinya ini dengan kegiatan yang ada di sekolah alam jika dibandingkan dengan sekolah umumnya. Setelah melakukan tes, Biyan masuk kedalam kelas transisi pada tahun pertama, yang artinya Biyan berpontensi untuk masuk kedalam kelas regular pada tahun kedua (model ini bisa disebut juga sekolah inklusi). Adikku memang memiliki kesulitan dalam berbahasa, namun ia lumayan jago saat disuruh berhitung (sampai diluar kepala). Sepertinya adikku memiliki kemampuan matematika yang oke punya. Hehehe. Biyan juga punya kemampuan lain yang bisa dibilang cukup menggelitik, yakni hapal dengan merk-merk produk / lambang-lambang / sebuah barang. (misal TV, Biyan hapal merk-merk TV seperti Toshiba, Sharp, LG, dll.)

Yaps, aku mulai sedikit dewasa, kini jika aku bermain dengan Biyan, aku memberikan permainan yang mengedukasi ataupun permainan kata untuknya. Aku terkadang ngobrol sama Biyan (misal) tentang ‘Biyan belajar apa disekolah’, ‘Biyan ngapain aja disekolah’, ataupun ngomongin kartun yang lagi ditonton. Ya, meskipun ia terkadang tak membalas apa yang aku ucapkan, tapi aku tahu ia mendengarkan apa yang aku ucapkan. Akupun juga terbilang cukup intens (sejak SMA) dalam hal menunjukan rasa sayang kepada Biyan, setidaknya setiap hari harus ada kontak sentuhan antara kami. Dalam artian, kasih sayang untuk ia akan lebih terasa jika melalui sentuhan seperti berpelukan dan cium pipi. Bahkan sampai sekarang, 2015 aku selalu menyempatkan diri setiap hari untuk ‘sayang-sayangan’ dengan Biyan. Meskipun berantemnya masih ada hehehe:p


---

Aku hanyalah seorang kakak dari seorang adik penyandang PDD-NOS.

Hmm.. Suara terindah namun menggelitik yang pernah aku dengar adalah suara Biyan ketika memanggilku “Mba Muti”. “Mba Muti” terdengar pertama kali disaat Biyan berumur 4 tahun. Sampai saat ini pun masih akan terasa lain ketika orang lain yang bukan Biyan memanggilku “Mba Muti”. Seperti ada kekuatan magis jika Biyan memanggilku Mba Muti.

Adikku semakin bertambah umurnya, akupun juga begitu. Untukku, ia masih sama seperti adik kecil yang baru kemarin datang ke kehidupanku.

Mungkin aku bisa gila jika tanpa Biyan. Pernah aku sekali membayangkan jika aku kehilangan Biyan, baru membayangkannya saja aku sudah menangis terisak. Lebay? Mungkin iya, dan akupun mengiyakan kalau aku agak lebay, tapi inilah perasaanku.

Aku sempat menyesal sempat melewatkan tahun-tahun perkembangan Biyan karena akupun sedang ‘asik sendiri’. Kini, aku tak pernah mau lewatkan setiap moment dengannya.

Hai para kakak dari seorang adik penyandang autisme, mungkin aku beruntung karena adikku tidak begitu parah autisme-nya, aku disini hanya berbagi cerita. Meski tidak keseluruhan, namun aku juga pernah merasakan masa-masa 'tak peduli' dengannya.
Sekali lagi, aku hanya tak ingin menjadi seorang kakak yang tak becus menjaga adiknya.
 



duniaku adalah kamu, duniamu adalah aku





Bekasi, 02 Maret 2015.
HARI AUTISME SEDUNIA


Salam sayang,
 dari seorang kakak yang menyangi adiknya...


---

Sepenggal pesan dari Ayah dan Bunda


“Dijaga adeknya mba, kalo bukan mba mau siapa lagi. Kalo Bunda sama Ayah meninggal, dijaga adeknya…”
“Ih mba, nanti Biyan kalo pubertas gimana ya, trusnya kalo naksir sama cewe…”
“Ih mba, nanti istrinya Biyan gimana ya…”
“Mba, kalo Bunda udah ga ada, Biyannya dirawat, dijaga, disayang, jangan disia-siain…”
“Kalo Ayah sama Bunda udah ga ada, dijaga Biyannya, jangan berantem yang enggak-enggak…”
“Mba nanti kalo cari suami, cari yang ga cuma bisa nerima kamu, tapi yang bisa nerima Biyan juga…”


Posted by 

7 comments

Edit

7 komentar:

Capt. Darma mengatakan...

Semangat muti buat jagain adenya..

http://fatinahmunir.blogspot.com/2015/04/hai-2-april-light-it-up-blue.html

btw background blognya ganggu, kurang enak aj gtu. trs ada yg typo tu.. masa
"26 September 2015" skrng aj blm bulan september 2015.

мυтι mengatakan...

Semangat yosh!
huaaah iya typo._.
makasih ka Darma buat perbaikan+sarannya^^

yudinurmuhamad mengatakan...

dijaga ya Mbak Muti Biyannya, jangan di tinggalin lagi.
baca ini jadi pengen rasanya gimana sih di panggil "kakak/abang" sama adik :)

Unknown mengatakan...

Pas lagi baca itu tiba2 keluar air mata. #saking terharunya. Semangat muti...

мυтι mengatakan...

Minta adek Yuuuud hoho

мυтι mengatakan...

Nisaaaaa:^) mangat teruuuus~~:3

Unknown mengatakan...

semangat yah muti, walaupun gue gak tau rasanya bagaimana menjadi diri lu. gue yakin itu gak akan mudah, semangat terus muti. biyan akan menjadi manusia yg hebat dibalik kakaknya yg kuat ^-^

sering dikepoin

tentang si punya blog

Mutiara Kinanti, seseorang yang menyukai kuliner dan kamu. IG @mutiarak dan e-mail mutiarakinantip@gmail.com yaaa~